Kisah Sukses Merek Fashion Indonesia Tembus Pasar Internasional
Lelaki kurus berkaca mata, dengan tubuh berhias tato itu terlihat sibuk seorang diri di dalam gerainya. Dengan seksama dia merapikan belasan tees aneka warna yang tergantung di salah satu sisi gerai.
Sementara, di sisi lain dari lapak berukuran tak lebih dari 3x3 meter tersebut, digantung produk kemeja, jaket, dan hoodie. Pada bagian rak di atas gantungan itu, terdapat tiga buah jam tangan berwarna hitam. Sementara di atas rak dekat koleksi tees, ada sejumlah topi yang dipajang.
Pemandangan itu terlihat pada salah satu gerai di ajang pameran Agenda Show 2018 di Long Beach Convention Center, California, Amerika Serikat, Kamis (28/6/2018) -waktu setempat. Agenda Show adalah pameran fesyen streetwear dunia yang diikuti tak kurang dari perwakilan 50 negara.
Lelaki kurus berkulit putih yang terlihat kerepotan menata barangnya itu adalah Vincentius Aditya, salah satu punggawa merek Paradise, dari Indonesia. "Kalo kami spesialisasinya sebenernya di tees," ungkap Aditya mengawali percakapan dengan Kompas.com. "Lebih ke youth streetwear fashion sih," sambung dia.
Adit bercerita, bisnisnya ini dimulai sekitar empat tahun lalu, bersama seorang teman yang bekerja di bidang yang sama pada perusahaan retail fesyen. "Lalu kami berdua mengagas ini, membuat kaus dan mulai memasarkannya di Australia saat itu," kata Adit.
Usaha sampingan kedua pemuda ini ternyata berkembang pesat, hingga kini mereka menambah formasi inti menjadi empat orang. "Karena kami dua-duanya orang desain, jadi butuh juga orang yang tahu soal menata keuangan dan pemasaran," sebutnya.
Sukses dan kualitas Meski belum genap berumur empat tahun, usaha para pemuda yang kini terpilih menjadi salah satu brand lokal yang dibawa Badan Ekonomi Kreatif ( Bekraf) ke pameran di AS, sungguh terbilang sukses.
Bahkan, Adit mengaku, sebelum ambil bagian dalam seleksi yang digelar Bekraf, sebenarnya mereka pun sudah mendapat undangan langsung dari panitia Agenda Show, pada tahun-tahun sebelumnya.
"Tapi waktu itu kita belum bisa memenuhi undangan tersebut," kata Adit. Adit dan satu rekannya merancang desain untuk produk yang akan mereka pasarkan.
Sementara, penjahitan dibuat oleh pihak ketiga, demikian pula dengan proses printing. "Ya, strategi itu kita pakai untuk menjaga kualitas dan mencegah kebocoran.
Kita juga lewati proses quality control dua kali untuk setiap produksi," kata Adit. Jadi, kaus yang selesai dijahit akan diperiksa untuk ditentukan apakah layak secara kualitas. Setelah itu, barulah dikirim untuk proses printing.
"Balik dari printing lalu kita periksa lagi. Soalnya dulu ada seller dari Jepang yang teliti sekali dengan kualitas. Bukan bolong, ada sisa benang aja mereka reject," ungkapnya.
"Dulu waktu pertama, kiriman kita 30 persen di-reject sama mereka," sambung Adit. Dari situlah, kini Paradise menerapkan dan menjaga standar kualitas, dan terbukti mampu berkembang ke pasar manca negara.
Laris manis dan kolaborasi "Harga kami untuk kaus itu 35 dollar AS per buah (sekitar Rp 500 ribu)," ungkap dia.
"Kalau di pasar lokal, mungkin harga segitu belum bisa diterima ya, ya meski kami tetap menjual sebagian di pasar lokal dengan sistem bagi hasil, dengan harga Rp 350 ribu."
"Pembeli di Indonesia masih mikir, ah mendingan gue beli merek terkenal, tinggal nambah dikit." "Padahal di luar negeri, orang-orang punya pride kebangsaan kuat banget, kenapa di Indonesia enggak bisa ya?" tutur dia.
Atas alasan itu pula, Paradise tak terlalu getol memasarkan produk kemeja mereka yang harganya mencapai Rp 1,2 juta per lembar. Dengan banderol harga dan kualitas yang dijaga, kata Adit, produk Paradise toh mampu merambah pasar dunia.
"Pembeli terbesar kami dari UK, lalu ada Korea Selatan, Jepang, Singapura, dan baru aja buka di Perancis," kata pemuda jebolan Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia, Bandung ini.
Bahkan, sejumlah kolaborasi telah mereka dapatkan dengan brand-brand mancanegara. "Kami pernah berkolaborasi membuat produk dengan Alpha Industry," cetusnya. Alpha Industry adalah merek kenamaan dari AS yang terkenal dengan produk-produk jaket-nya.
"Lalu ini yang terbaru jam tangan dengan merek dari Singapura," kata Adit sambil menunjukkan arloji hitam yang dipajang digerainya. Terbatas dan tanpa diskon Demi menjaga kebanggaan atas produk yang mereka buat, Paradise tak mengenal diskon dan selalu dijual dalam jumlah terbatas.
"Rata-rata kaus kita produksi hanya sekitar 100 pieces, kita enggak mau produksi banyak-banyak, sementara demand-nya belum kuat, lalu kausnya jadi gak laku," kata dia.
"Kita juga gak mau bikin sale, potongan harga, demi menjaga citra dan pride yang kami bangun," ungkapnya. Dengan strategi itu, dia meyakini, orang juga akan memandang produk Paradise dengan pride,... kebanggaan.
0 comments:
Post a Comment