Kisah Perjuangan Belajar Para Siswa MI di Pamekasan, Madura
Jam untuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) baru saja dimulai. Ramo, guru PKN di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Misbahussudur, Dusun Aeng Nyunok, Desa Banyupelle, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, sambil menyeka keringat yang mengalir di sela-sela kopyah hitam yang dipakainya.
Terik matahari pada Senin (23/9/2019) siang, membuat cuaca di Pamekasan, terasa begitu panas. Lubang-lubang kecil di semua dinding kelas yang terbuat dari anyaman bambu, paling tidak menahan teriknya panas matahari. Sesekali udara silir masuk ke dalam ruang kelas sederhana. Namun, udara menjadi panas kembali ketika hembusan angin hilang.
Murid-murid yang yang sedang menuntut ilmu tanpa meja dan kursi ikut merasakan panasnya ruang kelas. Ada yang harus melepas ikatan kerudung agar lebih longgar dan memudahkan udara masuk. Sementara, bagi murid laki-laki, ada yang melepas kopyah dan melepaskan satu sampai dua kancing baju untuk mengurangi keringat. Situasi itu dialami setiap hari oleh para guru dan murid yang melangsungkan proses belajar mengajar ketika musim kemarau.
Dinding kelas yang bolong berfungsi juga sebagai ventilasi udara. Lantai yang baru 2 tahun dibeton, menghilangkan debu-debu beterbangan dan murid-murid sudah bisa belajar lesehan di lantai. Ramo yang juga Kepala Madrasah menjelaskan, kelas yang sudah reyot itu ditempati belajar dari berbagai jenjang pendidikan.
Pada pukul 07.00-09.00 WIB, ruangan ditempati belajar untuk murid Raudatul Atfal (RA) atau setingkat taman kanak-kanak (TK). Setelah kelas RA pulang, baru kelas itu gantian diisi oleh murid-murid dari kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI). "Kalau kelas ditempati RA, sementara waktu yang kelas MI belajar di sebelahnya kuburan umum yang kebetulan ada suraunya," kata Ramo saat dijumpai di sekolahnya.
Ruang kelas di lembaga yang didirikan oleh Kiai Nasiruddin pada 1986 itu, sangat berkekurangan. Dari 119 jumlah murid yang ada, hanya ada 5 ruang kelas. Itupun masih dikurangi kantor sekolah dan ruang guru. Akibat kekurangan kelas itu, tempat belajar murid-murid sering berpindah-pindah. "Meskipun di pinggir kuburan, kita tetap mengajar. Kelas yang ada tidak cukup.
Yang adapun, sebagian sudah bangunan tua dari kayu yang mulai reyot," ujar dia. Khairul Umam, salah satu murid MI mengaku tidak nyaman belajar di kelas yang dindingnya sudah bolong-bolong. Kalau musim kemarau kepanasan. Sedangkan, di musim hujan, airnya masuk ke dalam kelas. "Panas sekali kelas ini. Kalau musim hujan, kelasnya basah dan tidak bisa belajar," kata Khairul Umam.
Kiai Nasiruddin, pengasuh lembaga pendidikan Misbahussudur mengatakan, pihaknya ingin segera merobohkan kelas tersebut, karena usianya sudah sangat tua dan tidak nyaman bagi para murid. Namun, keinginan itu tidak terwujud, karena tidak ada biaya untuk membangunnya. "Kalau tidak ada biaya, biar pakai yang ada saja.
Siapa tahu Allah segera memberi rezeki untuk bisa membangun," kata Nasiruddin. Kiai yang pernah belajar di pondok pesantren Miftahul Ulum Karang Durin, Kabupaten Sampang ini, tidak tega untuk memungut sumbangan kepada murid dan wali murid untuk membangun ruang kelas.
Sebab, rata-rata tingkat ekonomi orang tua murid dan masyarakat sekitar tergolong rendah. "Kami tidak pernah minta sumbangan apapun kepada murid dan wali murid. Semua biaya pendidikan di sekolah kami gratis tanpa ada pungutan sepeserpun," kata dia.
0 comments:
Post a Comment