Sunday, October 13, 2019

Kisah Perjuangan Mbah Wardi 70 Tahun, Tunanetra Bertahan Hidup Seadanya


Kisah Perjuangan Mbah Wardi 70 Tahun, Tunanetra Bertahan Hidup Seadanya

 Meski mengalami kebutaan total sejak usia 35 tahun, kegiatan sehari hari Mbah Wardi (70) warga Desa Jambangan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, tak beda dengan warga lainnya. Menghadapi kenyataan sebagai tunanetra tak membatasi gerak Mbah Wardi. 

Berbagai aktivitas dilakukan mulai dari mencari pasir di sungai, menjadi buruh tani hingga berdagang barang rongsok seperti sepeda dan sejumlah alat elektronik bekas lainnya dilakoni pria yang tinggal di pos ronda tersebut. Bahkan, untuk berjalan, Mbah Wardi tidak pernah menggunakan tongkat. 

UPDATE: Kompas.com menggalang dana untuk Pak Wardi. Sumbangkan sedikit rezeki Anda untuk membantu pemeriksaan kesehatan dan hidup lebih baik. Klik di sini untuk donasi. Mbah Wardi mengatakan, sebagian besar jalan di desanya serta jalan di sejumlah desa lainnya masih bisa diingat. 

Hal itu berdasarkan pengalamannya sebelum mengalami kebutaan. “Kalau mau jalan mengingat dulu arahnya. Membedakan jalan pakai kaki,” ujar Mbah Wardi saat ditemui, Selasa (3/9/2019). Jatuh ke sungai hingga bertabrakan dengan sesama tunanetra Kondisi kedua mata yang tidak bisa melihat sempat membuat Mbah Wardi hampir celaka. 

Sekitar 2 tahun lalu, dia mengaku tercebur ke sungai pada tengah malam, karena salah arah. “Perasaan saya sudah benar jalannya, tahu tahu jatuh ke sungai. Untungnya jatuhnya tidak ke batu,” kata Mbah Wardi. Mbah Wardi juga mengaku sempat tersesat di kebun jagung warga, saat menuntun sepeda onthel jualannya. 

 Saat itu, dia mau mengantarkan sepeda ke salah satu warga di dusun Gelung. Namun, di tengah jalan suara mesin padi yang lewat membuat dia kehilangan arah, sehingga menuntun sepeda yang dibawanya masuk ke tengah kebun jagung. 

"Setelah nabrak pagar, harapan saya di balik pagar itu jalan. Mindahin sepedanya ya dipanggul. Alhamdulillan sampai juga di jalan yang benar,” kata Mbah Wardi sambil tertawa. Meski menjalani hidup sebagai tunanetra, Mbah Wardi mengaku ada juga kisah yang dialaminya yang membuatnya tertawa. Mbah Wardi bertabrakan dengan sesama tunanetra. Di desanya ada warga bernama Timan yang juga mengalami nasib yang sama. “ Ya sama-sama tidak melihat, pernah bertabarakan saat di jalan. 

Saya tanya, kowe sopo? Dia jawab, Bang Timan, yowis podo podo ora ketok,” ujar Mbah Wardi sambil terkekeh. Bisa membedakan kualitas sepeda Meski tak bisa melihat, Mbah Wardi paham betul kondisi barang rongsokan seperti sepeda onthel dan peralatan elektronik seperti tape recorder atau kipas angin yang dia jual. 

Untuk mengenali kualitas sepeda yang dibelinya, Mbah Wardi meraba satu-satu bagian sepeda yang akan dibeli. ”Kalau catnya halus, biasanya masih asli, kalau agak kasar, artinya pernah dicat ulang. 

Tahu kondisi barang ya dipegang satu-satu,” ujar Mbah Wardi. Meski demikian, Mbah Wardi kesulitan mengenal uang yang biasa digunaan untuk melakukan transaksi jual beli. Dia meminta tolong kepada orang di sekitarnya untuk melihat nilai rupiah uang kertas yang dimilikinya. 

Meski tak pernah kena tipu soal pembayaran barang yang dibelinya, namun sering kali pembeli berutang dan lupa membayar. “Paling bilangnya besok dibayar, kalau sampai 4 kali saya datang tidak dibayar, biasanya saya ikhlaskan saja,” kata Mbah Wardi. Mbah Wardi mengaku hasil kerjanya hanya cukup untuk kebutuhan makan. 

Itupun, kadang dia tidak punya uang untuk makan. Kebanyakan warga memilih menukar barang yang dimiliki dengan sepeda atau tape atau kipas angin. Kakek yang masih terlihat sehat di usia 70 tahun tersebut mengaku pernah 3 kali menikah. 

Kemiskinan membuat Mbah Wardi bekerja terlalu keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dari menjadi buruh tani mengangkut padi hasil panen hingga menjadi kuli pencari pasir yang harus menyelam ke dasar sungai untuk mengeruk pasir harus dijalaninya. 

Pada 1982 kedua matanya selalu berair dan terasa gatal serta panas. Meski sempat mendapat perawatan hingga ke rumah sakit umum di Yogyakarta, namun perlahan pandangan Mbah Wardi terasa kabur hingga mengalami kebutaan total. 

“Kata dokter, urat mata ini sudah tidak karuan karena pengaruh kerja keras. Namanya kuli yang manggul sekuatnya,” ucap Mbah Wardi. Mbah Wardi kemudian menikah lagi dengan perempuan bernama Sami hingga memiliki 1 orang anak. Namun, istrinya meninggal seminggu setelah melahirkan anak pertamanya. 

Hidup miskin membuat Wardi mentipkan anaknya agar dirawat oleh adiknya. Dia memilih tinggal di masjid desa sambil terus bekerja mencari pasir. Sayangnya, pasir yang dikumpulkan tak laku dijual. Mbah Wardi mengikhlaskan puluhan pikap pasirnya dipergunakan untuk membangun jalan desa. 

Mbah Wardi mengaku sempat memiliki gubuk yang didirikan di tanah warga yang merelakan tempat untuk ditinggali. Sayangnya, karena sudah terlalu tua, gubuk dari bambu tersebut roboh karena tak pernah diperbaiki. Sejak saat itu, Mbah Wardi hanya bisa berteduh dari pos ronda ke pos ronda lainnya untuk beristirahat. 

Dibuatkan rumah sederhana oleh Kapolres Namun, saat ini Mbah Wardi menunggu penyelesaian pembuatan rumah bantuan dari Kepolisian Resor Ngawi. Di sebuah lahan milik Harmanto yang mengikhlaskan lahannya dibangun rumah untuk Mbah Wardi, Polres Ngawi membangun rumah semi permanen dengan luas 4 X 6 meter yang bisa ditempati Mbah Wardi untuk beristirahat. 

Kapolres Ngawi AKBP Pranatal Hutajulu mengatakan, pembangunan rumah sederhana untuk untuk meringankan beban Mbah Wardi yang selama ini terpaksa tinggal di pos ronda. "Mbah Wardi ini mengalami kebutaan dan harus kerja keras, kami tergerak untuk meringankan beban Mbah Wardi membangunkan rumah yang layak,” ujar Pranatal.


Kisah Perjuangan Mbah Wardi 70 Tahun, Tunanetra Bertahan Hidup Seadanya Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Fauzi Rahmat

0 comments:

Post a Comment